Bertengkar adalah fenomena yang
sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada seseorang berkata:
"Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya!" Kemungkinannya
dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah berdusta. Yang jelas kita
perlu menikmati saat-saat bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi saat
saat tidak bertengkar. Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya
saja dihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi.
Kalau tahu etikanya, dalam
bertengkarpun kita bisa mereguk hikmah, betapa tidak, justru dalam
pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat
dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan-pesannya terasa
kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi. Tulisan ini murni
non politik, jadi tolong jangan tergesa-gesa membacanya. Bacalah dengan sabar,
lalu renungi dengan baik, setelah itu...terapkan dalam keseharian kita.......
Setuju friend's...???
Suatu ketika seseorang berbincang
dengan orang yang akan menjadi teman hidupnya, dan salah satunya bertanya:
"Apakah ia bersedia berbagi masa depan dengannya, dan jawabannya tepat
seperti yang diharap. Mereka mulai membicarakan : seperti apa suasana rumah
tangga ke depan.Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan
kala mereka bertengkar. Dari beberapa perbincangan hingga waktu yang
mematangkannya, tibalah mereka pada sebuah Memorandum of Understanding, bahwa
kalaupun harus bertengkar, maka :
1. Kalau
bertengkar tidak boleh berjama'ah,
cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi
harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama'ah,
seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika seorang marah dan saya
mau menyela, segera ia berkata "STOP" ini giliran saya ! Saya harus
diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati :
"kamu makin cantik kalau marah, makin energik..." Dan dengan diam
itupun saya merasa telah beramal sholeh, telah menjadi jalan bagi
tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi... "duh kekasih ..
bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega, maka dipadang kelegaan
perasaanmu itu aku menunggu ....".
Demikian juga kalau pas kena giliran
saya "yang olah raga otot muka", saya menganggap bahwa distorsi hati,
nanah dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar
tak menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada
isteri saya . Maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah.
pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus berjama'ah, sebab ada sesuatu
yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama'ah selain marah .
2.
Marahlah untuk persoalan itu saja,
jangan ungkit yang telah terlibat masa (maksudnya masa lalu kita). Siapapun
kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa silam adalah
bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah.
Siapapun tidak akan suka dinilai
dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan.
Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan dan bukan menghancurkannya.
Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah
sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa, menghancurkan
peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.
Kalau saya terlambat pulang dan ia
marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya, adalah
"ungkapan rindu yang keras". Tapi bila itu dikaitkan dengan seluruh
keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka
itu membuat saya terpuruk jatuh. Bila teh yang disajinya tidak manis (saya
termasuk penimbun gula), sepedas apapun saya marah, maka itu adalah
"harapan ingin disayangi lebih tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan
dengan kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan "Sudah tidak
suka lagi ya dengan saya", maka saya telah menjepitnya dengan hari yang
telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups...! saya telah membunuhnya,
membunuh cintanya.
Padahal kalau cintanya mati, saya
juga yang susah ... OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup
di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini .....
3. Kalau
marah jangan bawa-bawa keluarga saya dengan isteri saya terikat baru beberapa
masa, tapi saya dengan ibu dan bapak
saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak
serta pamannya. Dan konsep Qur'an, seseorang itu tidak menanggung
kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).
Saya tidak akan terpantik marah bila
cuma saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan coba coba.
Begitupun dia, semenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan
siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain
ke kancah "awal cinta yang panas ini". Kata ayah saya : "Teman
seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak". Memarahi orang yang
mencintai saya, lebih mudah dicari ma'afnya dari pada ngambek pada yang tidak
mengenal hati dan diri saya..". Dunia sudah diambang pertempuran, tidak
usah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!
4. Kalau
marah jangan di depan anak-anak, anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat
pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah
kita. Anak yang melihat orang tuanya bertengkar, bingung harus memihak siapa.
Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu 'kan bapak saya. Ketika
anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
* Ibu : "Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan
kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!"
* Bapak : "Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu
dan aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada,
emang saya ini kuda ????!!!!
*Anak : "...... Yaaa ... ibu saya babu, bapak saya kuda ....
terus saya ini apa ?"
Kita harus berani berkata :
"Hentikan pertengkaran !" ketika anak datang, lihat mata mereka,
dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama
kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata bahasa hati kita ???
5. Kalau
marah jangan lebih dari satu waktu shalat, Pada setiap tahiyyat kita berkata : "Assalaa-mu
'alaynaa wa 'alaa'ibaadilahissholiihiin" Ya Allah damai atas kami,
demikian juga atas hamba-hambamu yg sholeh....
Nah andai setelah salam kita
cemberut lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita
telah mendustai Nya, padahal nyawamu ditangan Nya.
OK, marahlah sepuasnya kala senja,
tapi habis maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi .... Marahlah habis
shubuh, tapi jangan lewat waktu dzuhur, Atau maghrib sebatas isya ... Atau
habis isya sebatas....??? Nnngg .. Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya
sebaiknya memang tidak bertengkar ... .
6. Kalau
kita saling mencinta, kita harus saling mema'afkan, tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar
hanyalah "proses belajar untuk mencintai lebih intens". Ternyata ada
yang masih setia dengan kita walau telah kita maki-maki.
Ini saja,
semoga bermanfa'at, "Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan
diri untuk bersedia dibatasi".
*Selamat
tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia pintar tapi
bodoh*
0 komentar:
Posting Komentar